“Kita harus mengakhiri perang sebelum perang mengakhiri kita.” – H. G. Wells; penulis, sejarawan, sosiolog Inggris.
Perang Dunia II merupakan perang terbesar yang
terjadi sepanjang sejarah umat manusia. Kekuatan-kekuatan besar dunia yang
terbagi menjadi dua blok saat itu turut terlibat dalam konflik skala global
yang telah menewaskan puluhan juta manusia. Diantara mereka, terdapat sebuah
negara anggota blok Sekutu yang dahulu begitu adidaya namun sekarang sudah
tidak berwujud lagi. Ia adalah Uni Republik Sosialis Soviet, atau lebih dikenal
dengan Uni Soviet.
Dengan
nama resmi lokalnya, Soyuz Sovyetskikh Sotsialisticheskikh Respublik,
Uni Soviet merupakan negara komunis berdaulat pertama dan terbesar di dunia
pada abad ke-20. Negara yang penduduk dan kebudayaannya didominasi Bangsa Rusia
ini didirikan oleh sekelompok orang dengan julukan kaum Bolshevik pimpinan
Vladimir Ilyich Lenin yang berhasil menggulingkan kekuasaan Tsar (Kaisar) Rusia
pada 1917. Revolusi saat itu berhasil membentuk pemerintahan komunis di Rusia
dan negara-negara sekitarnya. Lima tahun berikutnya, negara-negara tersebut
bergabung membentuk Uni Soviet. Setelah Lenin wafat pada 1924, tampuk
pemerintahan beralih ke tangan Josef Stalin, seorang Bangsa Georgia yang
terkenal memerintah dengan tangan besi, sesuai namanya–panggilan, bukan nama
asli– “Stalin” (Bahasa Rusia: manusia baja).
Dalam Perang Dunia II, Soviet harus berhadapan
dengan salah satu musuh lamanya, Jerman, yang ketika itu sedang diperintah oleh
rezim Adolf Hitler dari Partai Pekerja Nasional-Sosialis Jerman (Nazi) yang
terkenal akan ideologi fasismenya. Di pihak Soviet, serangkaian perang ini
meninggalkan kesan yang mendalam dan bahkan bagi beberapa negara penerusnya
hingga saat ini. Peristiwa besar yang terjadi selama sekitar 4 tahun (1941-1945)
pada rezim Stalin ini bahkan mendapatkan berbagai istilah lokal di negeri Beruang
Merah itu, diantaranya “Velikaya Otechestvennaya Voyna” (Perang
Patriotik Raya) dan “Svyaschennaya Voyna” (Perang Sakral). Bagaimana
tidak? Diperkirakan sebanyak 26 juta warga Soviet tewas dalam perang tersebut.
Itu artinya Uni Soviet kehilangan sekitar 13,7% jumlah penduduknya. Bahkan di
Belarus, daerah terdampak paling parah yang terletak di perbatasan dengan
Jerman, 1 dari 4 penduduknya harus meregang nyawa.
Salah satu pertempuran terbesar dalam
serangkaian perang itu terjadi di Stalingrad, sebuah kota di Rusia bagian selatan.
Kota yang terletak di tepi Sungai Volga, sungai terpanjang di Eropa ini sudah
memiliki 3 nama sejak pembentukannya. Sebelum 1925, kota ini bernama
Tsaritsyn–nama yang bernuansa Rusia imperial. Karenanya, pada 1925, oleh rezim Josef
Stalin nama kota ini diubah menjadi Stalingrad (grad artinya kota) untuk
menghormati Stalin. Namun, pada 1961, nama kota ini diubah menjadi Volgograd
sebagai upaya De-Stalinisasi (pembasmian segala hal berbau Stalin) oleh rezim Nikita
Khruschev. Di Rusia, pergantian nama kota yang bernuansa politis ini adalah
sesuatu yang wajar terjadi.
Sebelum pertempuran terjadi, Stalingrad sudah
dijadikan target oleh Wehrmacht (pasukan perang Jerman). Selain merupakan kota
industri yang berkembang, letaknya yang berada di tepi Sungai Volga sangat
strategis karena menjadi jalur pelayaran antara Laut Kaspia dan Rusia Tengah.
Dengan menguasai Stalingrad, pihak Jerman yakin akan dapat lebih leluasa
melakukan ekspansi ke wilayah Kaukasus dan Kaspia yang memiliki cadangan minyak
yang cukup besar. Maka, pada Maret 1942, Adolf Hitler memerintahkan pasukannya
untuk menyerang Stalingrad. Upaya ini merupakan bagian dari Fall Blau
(Operasi Biru). Hitler bahkan memasang tenggat waktu agar kota dapat diduduki
selambat-lambatnya 25 Agustus.
Pada 28 Juli, Stalin selaku “Komisaris
Pertahanan Rakyat” mengeluarkan Perintah No. 227. Dalam perintahnya tersebut,
ia menyertakan sebuah seruan yang kelak menjadi slogan perlawanan Soviet yang
terkenal di masa itu: “Ni shagu nazad!” (Bahasa Rusia: “Tidak ada satupun
langkah mundur!”) Ia juga menolak untuk mengevakuasi warga sipil keluar kota.
Hal ini dilakukan agar Tentara Merah (pasukan perang Soviet) menjadi semakin
sadar bahwa mereka harus bertempur dengan kesungguhan untuk mempertahankan kota
beserta warganya.
|
Pada 19 November, di pihak Tentara Merah, Jenderal
Georgy Zhukov melancarkan Operasi Uranus, sebuah perlawanan balik Soviet
skala masif. Dalam operasi ini, Soviet memanfaatkan kelemahan Jerman dalam
mempersiapkan datangnya musim dingin. Mereka juga mendapati bahwa Wehrmacht
terlalu berfokus pada daerah di sekitar Stalingrad. Pasukan Italia, Rumania,
dan Hongaria–dengan persenjataan yang lemah–ditugasi untuk menjaga garis
pertahanan luar (arah barat-selatan Stalingrad). Pasukan Soviet kemudian
memulai serangannya di sekitar garis pertahanan utara di dekat Stalingrad hari
itu juga, sedangkan untuk perlawanan di garis luar dimulai esok harinya. Meski awalnya
dapat menepis serangan pertama Soviet, pada 20 November pasukan Rumania mundur
ketika Tentara Merah melewati beberapa infanteri Jerman. Cadangan Jerman tidak
memadai untuk melawan serangan Soviet, sedangkan divisi ketentaraan lainnya
tidak beraksi cepat.
Alhasil, pada 22 November, dua bagian pasukan
Soviet dari arah barat laut dan timur bertemu di Kalach. Disana, pasukan yang
berjumlah sekitar 1,1 juta orang itu mengepung sekitar 290.000 pasukan Blok
Sentral. Atas keberhasilan pengepungan ini, Soviet berhasil memutarbalikkan
keadaan yang telah berjalan selama jalannya Perang Dunia II Front Timur.
Wehrmacht kemudian kembali mencoba membalas.
Dibawah Komandan Divisi Ketentaraan Don, Jenderal Erich von Manstein, pada 12
Desember Wehrmacht melancarkan Operasi Badai Salju, yang berusaha menerobos
pengepungan Tentara Merah atas Tentara Keenam Jerman di sisi barat daya
Stalingrad. Atas operasi ini, Tentara Merah merespons dengan melancarkan
Operasi Saturnus Kecil pada 16 Desember. Pada tahap awal, mereka berhasil
memukul mundur pasukan Italia. Serangan dilanjutkan dengan menyerang pangkalan
udara utama Luftwaffe dalam Pertempuran Stalingrad yang terletak di
Tatsinskaya, sekitar 270 km arah barat Stalingrad. Akibat penyerangan tersebut,
pangkalan udara dan seisinya berhasil dihancurkan. Luftwaffe tidak lagi dapat
mensuplai kebutuhan pasukan Blok Sentral ke Stalingrad.
Komando Tertinggi Tentara Merah kemudian
mengumumkan akan menduduki kota yang telah berhasil dikepung itu pada 7 Januari
1943. Kemudian, mereka memberi ultimatum kepada Jerman. Apabila dalam 24 jam Blok
Sentral bersedia menyerah, mereka akan mendapat perlindungan. Meski demikian,
Paulus yang diperintahkan oleh Hitler untuk tidak menyerah, tidak memberikan respons
apapun.
Pada 10 Januari 1943, Tentara Merah memulai
Operasi Koltso (Ring) untuk menyerang Pasukan Blok Sentral yang ada di
Stalingrad. Pangkalan-pangkalan udara di dalam kota berhasil diduduki Soviet,
sehingga pemasokan kebutuhan tentara Blok Sentral terputus total. Beberapa
wilayah kota seperti Mamayev Kurgan dan Pabrik Red October juga berhasil
mereka rebut. Penyerangan ini berhasil memotong kantong Pasukan Blok Sentral
menjadi dua–pasukan di utara lebih besar daripada pasukan di selatan. Pasukan
utara dipimpin Jenderal Strecker, sementara Paulus memimpin di selatan. Pasukan
Blok Sentral yang tersisa saat itu bertahan dalam penderitaan kedinginan dan
kelaparan akibat musim dingin yang tidak mereka persiapkan dengan baik.
Setelah lima bulan masa perang tanpa ampun, Pasukan
Blok Sentral yang diwakili oleh Jenderal Strecker memutuskan untuk menyerah
kepada Soviet pada 2 Februari. Dalam pesan radio yang dikirimnya ke Jerman, ia
mengaku sudah menjalankan tugasnya hingga titik darah penghabisan. Pasukan Wehrmacht
yang tersisa sebanyak 91.000 orang dari Tentara Keenam dan Tentara Panser
Keempat menyerah dan ditawan dalam kondisi menderita. Total korban di kedua
belah pihak hampir mencapai dua juta jiwa, dimana korban di pihak Soviet
mencapai 1,1 juta jiwa dan di pihak Blok Sentral sekitar 600-700 ribu jiwa.
Referensi
·
en.wikipedia.org
·
www.volgaland.volsu.ru
·
id.rbth.com
·
rbth.com
Komentar
Posting Komentar