Sengketa Ayodhya: Masjid Babri yang Bersejarah


Masjid Babri adalah sebuah masjid yang terletak di sebuah kota kecil bernama Ayodhya di negara bagian Uttar Pradesh, India. Masjid ini dibangun atas permintaan dari Kaisar Mughal Pertama, Babur. Nama “Babri” sendiri diambil dari nama Babur.
Sebelum tahun 1940-an, masjid ini bernama Masjid-i-Janmasthan, yang dalam Bahasa Urdu berarti “masjid tempat kelahiran”. Masjid ini berdiri di Bukit Ramkot (benteng Rama) atau disebut juga Janmasthan (tempat kelahiran). Masjid ini telah diruntuhkan oleh kaum nasionalis Hindu India pada 6 Desember 1992, terkait sebuah sengketa berkepanjangan dalam hal keyakinan beragama.
Masjid Babri didirikan oleh panglima perang Babur bernama Mir Baqi. Dalam sebuah catatan lama tertulis bahwa masjid ini dibangun sekitar tahun 935 H (1528-1529 M). Meski demikian, ada pula dugaan bahwa Masjid Babri dibangun pada rezim Kesultanan Delhi. Masjid Babri dibangun dengan gaya arsitektur Tughlaq. Gaya arsitektur ini banyak diadopsi oleh masjid-masjid di Kekaisaran Mughal, sehingga masjid ini dapat dikatakan cukup representatif sebagai peninggalan Kekaisaran Mughal.

 
Dokumentasi Masjid Babri (tampak depan)  pada awal abad ke-20

Masyarakat Hindu India mempercayai bahwa tempat berdirinya Masjid Babri adalah tempat kelahiran salah satu dewa mereka, Rama, yang merupakan reinkarnasi Dewa Wisnu. Mereka juga percaya bahwa dahulu di tempat ini pernah berdiri Kuil Dewa Rama, dan bahwa Mir Baqi-lah yang menghancurkan kuil tersebut untuk pembangunan Masjid Babri.
Dari sinilah kemudian timbul polemik sehingga sebagian masyarakat Hindu India merasa bahwa tempat berdirinya Masjid Babri adalah hak mereka. Bahkan tanah tempat berdirinya masjid ini juga diklain oleh umat Jainisme dan Buddha. Alasan mereka pun sama: di tanah tempat didirikannya masjid tersebut pernah berdiri kuil atau bangunan keagamaan mereka masing-masing. Meski demikian, protes yang paling kuat tetap berasal dari umat Hindu. Sengketa politik-keagamaan mengenai tanah ini kemudian dikenal sebagai Ayodhya dispute (Sengketa Ayodhya).
Bahkan, terjadi polemik di kalangan umat Islam sendiri, yakni antara golongan Syiah dan Sunni. Masjid Babri yang secara sah dimiliki oleh kelompok Sunni sempat diklaim oleh pihak Syiah. Mereka beralasan bahwa Mir Baqi, pendiri masjid ini, adalah seorang Syiah. Namun, pihak pengadilan memenangkan kelompok Sunni karena Babur, Kaisar Mughal Pertama yang memerintahkan pembangunan masjid ini, beraliran Sunni.
Umat Hindu yang merasa memiliki hak atas tanah tersebut kemudian melakukan berbagai macam aksi nyata untuk mengecam keberadaan Masjid Babri. Pada Desember 1949, sebuah organisasi keagmaan Hindu, Akhil Bharatiya Ramayana Mahasabha melakukan aksi pembacaan Ramcharitamanas (kitab berisi puisi-puisi yang sangat erat kaitannya dengan kehidupan Rama) selama sembilan hari di depan Masjid Babri. Di akhir aksi tersebut, pada malam hari tanggal 22-23 Desember 1949, sekelompok orang memasuki masjid dan menaruh dua buah arca Rama dan Sita didalamnya. Pada pagi hari tanggal 23 Desember, pihak penyelenggara aksi mengumumkan bahwa kedua arca tersebut muncul secara ajaib. Mereka mendesak agar umat Hindu diperbolehkan untuk melakukan darsana (mengunjungi dan menatapi objek suci) terhadap kedua arca tersebut, yang artinya masuk ke dalam Masjid Babri. 
Guna terus mendapatkan dukungan atas kepemilikan tanah Masjid Babri, organisasi keagamaan Hindu lain, Vishva Hindu Parishad (VHP) menggelar aksi rath yatra (jalan panjang) dari Sitamarhi ke Ayodhya, pada bulan September hingga Oktober 1984. Aksi serupa kemudian digelar kembali, yang digagas oleh seorang senior dari Partai Bharatiya Janata (BJP) pada 1990 dengan nama Ram Rath Yatra. Aksi yang lebih masif ini digelar pada September hingga Oktober 1990 dari Somnath di Gujarat ke Ayodhya, dengan panjang perjalanan mencapai 10.000 km.
Pada 6 Desember 1992, dimulailah aksi penghancuran masjid. Para pimpinan organisasi-organisasi Vishva Hindu Parishad, Partai Bharatiya Janata, dan Rashtriya Swayamsevak Sangh berkumpul di lokasi Masjid Babri. Mereka berhasil mengumpulkan massa yang cukup besar dari kalangan umat Hindu dari seluruh India. Meski areal masjid dijaga oleh pasukan keamanan, mereka seolah diam; membiarkan massa tersebut untuk masuk ke areal masjid. Siang harinya, sekelompok relawan menaiki kubah masjid sebagai simbol telah didudukinya Masjid Babri oleh umat Hindu. Beberapa saat kemudian, sekelompok sukarelawan Hindu dalam jumlah besar akhirnya berhasil menghancurkan dan meruntuhkan Masjid Babri

            Peristiwa runtuhnya Masjid Babri tersebut memicu banyak kerusuhan di India, khususnya antara umat Hindu dan Islam. Hanya beberapa saat setelah peristiwa tersebut, tercatat total sekitar 2000 orang meregang nyawa akibat kerusuhan di penjuru negara. Hal ini kemudian diperparah dengan sebuah kerusuhan skala besar di Mumbai yang menewaskan 900 orang, dimana sebagian besar korban tewas berasal dari pihak umat Islam. Protes umat Islam terhadap umat Hindu pun terjadi hingga negara-negara tetangga, yakni Bangladesh dan Pakistan, yang ditandai dengan aksi perusakan terhadap rumah-rumah, toko, serta kuil-kuil umat Hindu.
            Menanggapi peristiwa peruntuhan Masjid Babri ini, pemerintah India membentuk sebuah komisi yang bertujuan mengusut kasus ini. Sebuah laporan investigasi pada 2005 dari seorang intelijen bernama Maloy Khrisna Dar menyatakan bahwa para pimpinan organisasi-organisasi nasionalis Hindu di negara itu telah merencanakan penghancuran masjid sepuluh bulan sebelumnya. Ia juga menyalahkan pihak parlemen nasional, termasuk PM P. V. Narasimha Rao dan Menteri Dalam Negeri S. B. Chavan, terkait pembiaran peruntuhan masjid tersebut demi keuntungan politik belaka.
            Sebuah survei arkeologi yang dilakukan oleh Lembaga Archaeological Survey of India (ASI) di lokasi Masjid Babri pada 2003 kemudian mendapati temuan-temuan bahwa di lokasi tersebut pernah berdiri bangunan keagamaan Hindu yang cukup besar. Hal ini kemudian ditentang oleh sebagian besar pihak muslim.
Pengadilan Tinggi Allahabad (pengadilan untuk Negara Bagian Uttar Pradesh) pada September 2010 kemudian mengeluarkan putusan mengenai tanah sengketa itu. Menurut pengadilan tersebut, tanah seluas 1,12 hektar itu akan dibagi tiga: 1/3 bagian bagi Ram Lalla (Hindu Maha Sabha) yang diperuntukkan bagi pembangunan Kuil Dewa Rama, 1/3 bagian bagi Badan Wakaf Sunni, dan 1/3 lainnya bagi Nirmohi Akhara, sebuah organisasi keagamaan Hindu. Putusan ini banyak diadopsi dari hasil survey yang dilakukan ASI sebelumnya.
Hingga kini, belum ada penindaklanjutan secara tegas terhadap pelaku-pelaku peristiwa penghancuran tersebut, mengingat hak milik tanah itu sendiri masih menjadi perdebatan panjang di kalangan antar umat beragama di India. Demikianlah sengketa Ayodhya.

Sumber:
·       en.wikipedia.org

Komentar