Ibu Kota Berkelanjutan dan Inklusif untuk Indonesia Sejahtera


Kota Jakarta sejak masa awal kemerdekaan Republik Indonesia hingga saat ini telah menjadi pusat pemerintahan dan perekonomian yang amat penting bagi negara ini. Namun, dengan segudang permasalahan dalam bidang sosial, ekonomi, dan lingkungan, Jakarta berada dalam masa kritis. Masalah-masalah ini akan berpengaruh kepada kelancaran kegiatan kota itu sendiri, kinerja pemerintah pusat, bahkan hingga citra Indonesia. Pemindahan ibu kota negara kemudian dipandang sebagai solusi efektif untuk mengurangi beban Jakarta dan meningkatkan efektivitas kinerja pemerintah pusat.
Wacana pemindahan ibu kota negara bukanlah hal baru bagi Indonesia. Setidaknya ada tiga usulan terdahulu yang mewacanakan pemindahan ibu kota permanen. Namun, tidak satupun dari ketiga wacana tersebut yang terealisasi secara konsisten. Adapun wacana yang baru-baru ini berkembang melirik Pulau Kalimantan sebagai tempat yang ideal bagi ibu kota negara baru. Hal ini didukung oleh beberapa faktor, seperti masyarakat yang toleran, rendahnya ancaman bencana yang sangat destruktif, dan letaknya yang relatif berada di tengah wilayah Indonesia.
Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2015 telah mencanangkan program skala global dalam rangka mengantisipasi masalah yang ditimbulkan oleh kegiatan manusia, yang disebut sebagai Tujuan-Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Program tersebut mengandung 17 tujuan yang memiliki target-target yang secara umum diupayakan tercapai sebelum tahun 2030, dimana poin ke-11 mengusung visi “Kota dan Komunitas yang Berkelanjutan”. Hal ini sangat relevan dengan perencanaan ibu kota negara baru.

17 poin Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB (sumber: sdg2030indonesia.org)

Inti dari visi tersebut adalah bahwa kota yang ideal hendaknya memiliki sifat berkelanjutan dan inklusif. Ketika konsep berkelanjutan sudah umum diketahui, lantas apa itu inklusif? Inklusif dalam hal ini bermakna suatu kota harus dapat memberikan pelayanan optimal kepada seluruh manusia yang terlibat didalamnya tanpa terkecuali.
Dalam poin SDG ke-11 tersebut terdapat 10 target yang dapat diambil intisarinya dalam 8 poin berikut.
Pertama, akses perumahan yang memadai, aman, dan terjangkau. Mengingat perlunya efektivitas penggunaan lahan, konsep hunian vertikal dengan selingan kawasan perdagangan dan jasa dapat menjadi solusi bagi hunian di kawasan permukiman penduduk (suburban kota) guna mempermudah akses masyarakat terhadap barang dan jasa serta menjadikan kota lebih “hidup”.
Kedua, akses kepada sistem transportasi yang aman, terjangkau, dan berkelanjutan, dimana sistem transportasi massal menjadi solusi utama. Salah satu alternatif utama ialah bus kota yang menggunakan bahan bakar ramah lingkungan seperti listrik. Selain itu, dapat disediakan transportasi sepeda dengan sistem sewa yang sangat sesuai digunakan di daerah pusat hingga suburban berkontur datar. Adapun solusi lainnya, khususnya untuk bepergian jarak dekat ialah berjalan kaki. Oleh karenanya, perlu disediakan jalur transportasi serta trotoar yang inklusif dan memadai di kawasan-kawasan yang strategis.
Ketiga, urbanisasi yang inklusif dan berkelanjutan. Munculnya kota baru tentu akan menimbulkan dampak yang signifikan terhadap masyarakat lokal. Maka dari itu, urbanisasi yang terjadi haruslah dapat memberi lebih banyak dampak positif bagi mereka. Selain itu, berhubung ibu kota baru lebih menekankan pada fungsi pusat pemerintahan, maka kawasan perdagangan, jasa, dan industri yang ada hendaknya hanya memiliki jangkauan lokal sehingga tidak banyak menarik penduduk dari luar daerah dan laju urbanisasi dapat terkendali.
Keempat, melindungi dan menjaga warisan alam dan budaya. Ekosistem alami yang masih terjaga hendaknya dijadikan daerah konservasi alam. Tatanan sosial masyarakat lokal juga tidak boleh terabaikan.
Kelima, mengurangi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana, dimana langkah antisipatif dalam menanggapi poin ini sendiri telah ditempuh dengan optimal. Langkah selanjutnya ialah memastikan bahwa pengelolaan kota selalu mempertimbangkan kapasitas lingkungan alam secara komprehensif.
Keenam, mengurangi dampak buruk lingkungan per kapita kota. Penggunaan energi baru terbarukan (EBT) sangat potensial untuk dikembangkan, antara lain energi surya. Hal ini mengingat letak ibu kota negara di zona khatulistiwa yang mendapat penyinaran cukup tinggi sepanjang tahun. Dalam hal pengelolaan limbah, penerapan prinsip 3R secara konsisten dapat meningkatkan nilai ekonomi sampah daripada hanya sekadar terbuang. Limbah tertentu dapat dijadikan sumber energi seperti yang telah diterapkan di beberapa kota di Indonesia melalui PLT Sampah. Selain itu, penghijauan di berbagai sudut kota termasuk di pedestrian dan diatas bangunan akan sangat berkontribusi positif dalam hal ini.
Ketujuh, menyediakan akses universal ke ruang hijau dan publik yang aman dan inklusif. Daerah titik nol kota hendaknya dialokasikan sebagai ruang publik berupa lapangan yang luas sebagai tempat berkumpul masyarakat. Taman-taman hijau di tempat-tempat strategis dapat memberi banyak manfaat bagi warga dan lingkungan kota, antara lain sebagai tempat berkumpul, rekreasi, area konservasi skala kecil, hingga objek pariwisata.
Kedelapan, mendukung hubungan sosial-ekonomi dan lingkungan yang positif antara kota dengan kawasan sekitarnya. Salah satu implementasi yang cukup penting ialah terkait isu deforestasi dan kebakaran hutan di Pulau Kalimantan. Dengan dipindahkannya ibu kota negara ke Kalimantan, diharapkan masalah kehutanan pulau tersebut dapat ditangani secara lebih tegas dan komprehensif.
Dengan penerapan visi “Kota dan Komunitas Berkelanjutan” bagi ibu kota negara baru  disertai penerapan regulasi secara konsisten dan komprehensif, ibu kota baru akan mampu memberikan pelayanan optimal bagi seluruh manusia yang terlibat serta menjadi model bagi manajemen kota-kota lainnya di Indonesia. Manajemen kota yang bermutu tentu akan berdampak lebih luas hingga daerah sekitarnya, yang pada akhirnya akan menyongsong masyarakat Indonesia menuju masyarakat sejahtera lahir dan batin.

Komentar